Minggu, 30 Januari 2011

Pemikiran Sebiji Buah Pakel

           Setiap hari Sabtu atau Minggu aku selalu menemani ibuku belanja di pasar untuk membeli kebutuhan sehari-hari, terutama kebutuhan untuk warung soto. Ketika sedang berjalan, mataku terbelalak melihat sebuah bentuk bulat dan besar. Melihat hal itu rasanya seluruh bagian rongga mulutku "kemecer" terbayang lotis dan rujak yang memang aku suka. Aku dekati dan aku amati, ternyata dari dekat bentuknya memang bulat dan besar. Sontak tanpa berkata-kata aku langsung memegangnya,merabanya, menekannya, dan menciumnya. Kedua tanganku pasti setuju jika barang yang aku sentuh itu disebut "empuk" dan hidungku sependapat jika aromanya memang disebut "wangi". Aku sudah tidak menawar lagi untuk membelinya karena memang harganya yang sudah cocok dengan kantongku, sebiji Rp 2500 dengan bobot  1,1 kg. 
         
          Orang-orang menyebutnya "pakel". Bagi orang awam yang tidak tahu pasti bisa-bisa menyebut barang yang bulat itu dengan "kweni", padahal antara pakel dan kweni berbeda. Perbedaan yang mudah untuk diamati adalah bentuknya. Pakel berbentuk bulat sedangkan kweni berbentuk lonjong. Jika dikupas dan diiris,bagian dalam pakel lebih berserat dibandingkan kweni yang halus mirip mangga. Rasa pakel sedikit lebih asam dibandingkan kweni, tetapi keduanya manis dan menyegarkan. Untuk aroma kedua buah ini memang mengagumkan, wangi sekali dan hampir sama jenisnya meskipun kweni lebih wangi daripada pakel. Namun demikian, tetap saja harga dari buah pakel murah. Mungkin hal ini disebabkan oleh rasa gatal yang ditimbulkan di bibir dan lidah setelah mengonsumsinya. akibatnya banyak orang yang kurang suka.
         
          Ada cara tradisional untuk memakan buah pakel supaya tidak gatal di bibir dan lidah. Pertama kupas pakel yang sudah matang. Dalam pengupasan, usahakan agak dalam agar seluruh kulit terbuang. Sebab getah yang ada di bawah kulit dapat menyebabkan gatal di bibir dan lidah. Setelah itu dicuci dengan air garam untuk mengurangi getah yang masih menempel. Setelah itu kupas pakel seperti mangga. Jika tidak suka tekstur yang kasar maka usahakan kupasan tidak sampai lapisan biji atau "pelok". 
         
          Nah akhirnya sampe kepada alasan aku membeli pakel. Tujuanku tak lain dan tak bukan adalah untuk mendapatkan "pelok"-nya. Aku ingin menanam pohon pakel yang sekarang ini sudah mulai jarang. Apalagi tempatku tinggal di Magelang bernama Pakelsari, dulu disebut Pakelan, karena memang dulu terdapat pohon pakel raksasa. Dibilang raksasanya karena untuk memeluk batang pohonnya saja membutuhkan sekitar 5 orang. Suasana lingkungan dahulu begitu sejuk dan asri, burung-burung kuntul masih menghiasi hamparan sawah. Andai saja keadaan lingkungan masih seperti dulu pasti magelang  tidak sepanas sekarang. Bila saja sebuah biji pakel dapat berkata pasti dia akan berkata "cukup sudah". 
-krt-

2 komentar:

  1. pakel maupun kweni sama2 enak...
    sama2 wangi..
    suka!
    hehehe

    BalasHapus
  2. uweeeeh... asyik ada yang komentaar...hehehe

    BalasHapus